Jumat, 10 Mei 2013

Hukum Ghusalah

Hukum Ghusalah
 
HUKUM GHUSALAH Ghusalah ialah air yang telah digunakan antuk mengangkat hadats atau menghilang-kan kotoran: najis, baik najis hukmi ataupun lajis haqiqi. Menurut pendapat jumhur selain ulama madzhab Hanafi, hukum ghusalah
 
HUKUM GHUSALAH

Ghusalah ialah air yang telah digunakan antuk mengangkat hadats atau menghilang-kan kotoran: najis, baik najis hukmi ataupun lajis haqiqi. Menurut pendapat jumhur selain ulama madzhab Hanafi, hukum ghusalah adalah bersih jika tempat yang dibasuh itu bersih.

Adapun menurut para fuqaha, maka ada tiga uraian terperinci sebagai berikut.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa ghusalah (air basuhan najis) terbagi kepada dua jenis: ghusalah najis haqiqi dan ghusalah najis hukmi, yaitu hadats. Ghusalah najis hukmi ialah air musta’mal, dan menurut zhahir ar-riwayat ia dihukumi bersih, tetapi tidak menyucikan. Artinya, ia tidak boleh digunakan untuk berwudhu. Akan tetapi menurut pendapat yang rajih, ia boleh digunakan untuk menghilangkan najis haqiqi.

Air musta’mal ialah air yang telah terpisah dari badan dan berkumpul di suatu tempat. Namun apabila air itu masih berada pada anggota yang menggunakannya, maka ia tidak dinamakan sebagai musta’mal. Suatu air hanya akan menjadi musta’mal apabila digunakan untuk mengangkat hadats ataupun sebab niat untuk mengerjakan ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti shalat biasa, shalat jenazah, memasuki masjid, menyentuh mushaf Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, dan lain-lain.

Oleh sebab itu, jika seseorang itu berhadats, maka air itu akan menjadi air musta’mal tanpa khilaf. Karena terdapat dua sebab, yaitu terangkatnya hadats dan mengerjakan ibadah. Tetapi jika seseorang itu belum berhadats, maka menurut pendapat ulama madzhab Hanafi selain Zufar, ia juga akan menjadi musta’mal, karena terdapat sebab melakukan ibadah. Karena, wudhu dianggap sebagai suatu cahaya di atas satu cahaya yang lain. Menurut pendapat Zufar, ia tidak akan menjadi air musta’mal karena tidak terdapat sebab yang mengangkat hadats. Tetapi jika wudhu ataupun mandi itu semata-mata bertujuan untuk mendinginkan badan dan orang tersebut belum berhadats, maka ia tidak akan menjadi air musta’mal.

Ghusalah najis haqiqi ialah air basuhan najis yang berubah keadaannya apabila berpisah dari tempat basuhan, yaitu berubah rasa, warna, atau baunya. Atau air basuhan najis apabila tempat basuhan itu belum bersih, umpamanya air itu berpisah dari tempat basuhan sesudah basuhan tiga kali berturut- turut yang digunakan untuk membasuh najis yang tidak dapat dilihat wujudnya. Karena, semua najis itu berpindah kepada air itu, dan tidak ada bagian air yang bersih dari najis.

Tidak boleh menggunakan ghusalah kecuali untuk air minum, membersihkan tanah yang basah, memberi minum binatang, dan seumpamanya. Tetapi jika air itu telah berubah rasa, warna, ataupun bau, maka perubahan ini menunjukkan bahwa najis tersebut mendominasi air itu. Dalam hal ini ia sama dengan hukum air kencing. Jika belum berubah, maka boleh digunakan. Karena apabila air tidak berubah, maka hal ini menunjukkan bahwa najis itu belum mendominasi kebersihan air. Hukum menggunakan sesuatu yang bukan termasuk najis ’ain pada keseluruhan bagiannya adalah boleh.

Ulama madzhab Maliki berpendapat jika ghusalah itu berubah rasa, warna, bau, maka ia dihukum mutanajjis jika tempat (yang dibasuh) masih ada najis. Tetapi jika tempat (yang dibasuh itu) bersih, maka ghusalah itu dihukumi bersih. Tidak boleh menggunakan air mutanajjis dalam semua urusan.

Menurut pendapat yang azhhar di kalangan ulama madzhab Syafi’i, ghusalah yang sedikit dihukumi bersih apabila berpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah. Dan tempat yang dibasuh itu juga telah menjadi bersih, karena air yang masih ada di tempat yang dibasuh adalah sebagian yang tertinggal. Tetapi jika ghusalah yang berpisah dari tempat yang dibasuh itu terkena najis, maka sudah tentu tempat yang telah dibasuh itu turut terkena najis. Adapun ghusalah yang banyak, maka ia dihukumi bersih selagi ia tidak berubah meskipun tempat yang dibasuh belum bersih. Artinya, ghusalah yang sedikityang sudah terpisah dari tempat yang dibasuh dihukumi bersih, tetapi tidak menyucikan apabila tidak berubah rasa, warna, ataupun baunya, di samping tidak bertambah beratnya sesudah dikira kadar air yang diserap oleh baju dan kadar kotoran yang keluar dari kain itu, dan juga tempat yang dibasuh sudah menjadi bersih. Namun sekiranya ia berubah, bertambah beratnya, belum bersih tempat yang dibasuh, maka ia dihukumi mutanajjis sama seperti hukum tempat yang dibasuh. Dengan ini, maka jelas bahwa hukum ghusalah adalah sama seperti hukum tempat yang dibasuh secara mutlak. Oleh sebab itu, apabila tempat yang dibasuh itu dihukumi bersih, maka ghusalah juga dihukumi bersih. Dan jika tidak, maka ia juga dihukumi tidak bersih.

Ulama madzhab Hambali dan ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa air yang digunakan untuk membersihkan najis, apabila ia berpisah dari tempat basuhan dalam keadaan berubah karena najis itu ataupun ia berpisah sebelum tempat yang dibasuh itu menjadi bersih, maka air itu ataupun ghusalah itu menjadi mutanajjis. Karena, ia telah berubah karena najis itu. Kondisi ini sama seperti apabila ada air sedikit bersentuhan dengan tempat yang terkena najis dan ia tidak mampu membersihkannya, maka ia dihukumi mutanajjis, sama seperti apabila air itu yang didatangi najis.

Namun apabila air itu berpisah dalam keadaan tidak berubah dari basuhan yang telah membersihkan tempat berkenaan, maka jika tempat yang hendak dibasuh itu adalah tanah, ia dihukumi suci. Karena, tanah yang telah dikencingi oleh orang Arab pada masa Rasul dapat dibersihkan dengan curahan setimba air ke atasnya berdasarkan kepada perintah Nabi Muhammad saw..

Jika tempat itu bukan tanah, maka terdapat dua pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat yang ashah, ia dihukumi bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Powered By Blogger