Sabtu, 25 Mei 2013

Tahun Duka Cita Rasulullah

TAHUN DUKA CITA BAGI RASULULLAH


Pada tahun kesepuluh kenabian, istri Rasulullah, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thlaib, wafat. Berkata Ibnu Sa’d dalam Thabaqat-nya: Selisih waktu antara kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib hanya satu bulan lima hari.
Khadijah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hisyam adalah menteri kebenaran untuk Islam. Pada saat-saat Rasulullah menghadapi masalah-masalah berat, ia-lah yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya. Akan halnya Abu Thalib, dia telah memberikan dukungan kepada Rasulullah dalam menghadapi kaumnya.
Berkata Ibnu Hisyam: Setelah Abu Thalib meninggal, kaum kafir Quraisy bertambah leluasa melancarkan penyiksaan kepada Rasulullah, sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah. Sehingga pernah beliau pulang ke rumah berlumuran tanah. Melihat ini, salah seorang putri beliau bangkit dan membersihkan kotoran dari atas kepalanya sambil menangis. Tetapi Rasulullah, berkata kepadanya, “Jannganlah engkau menangis wahai anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.“
Rasulullah menamakan ini sebagai “tahun duka cita“,  karena begitu berat dan hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada tahun ini.

Sebenarnya pemahaman dan penilaian ini keliru. Sebab Rasulullah tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istrinyanya. Rasulullah juga tidak menyebut tahun ini dengan tahun duka cita, semata-mata karena kehilangna sebagian keluarganya. Tetapi karena bayangan akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini. Sebagaimana kita ketahui, pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah banyak memberikan peluang dan jalan untuk menyampaikan dakwah dan bimbingan. Bahkan Rasulullah sendiri telah melihat sebagian keberhasilannya dalam membantu melaksanakan tugas dakwahnya.
Tetapi setelah kematian Abu Thalib peluang-peluang itu menjadi tertutup. Setiap kali mencoba untuk menerobos selalu saja mendapatkan rintangan dan permusuhan. Kemana saja beliau pergi , jalan selalu tertutup baginya. Tak seorangpun yang mendengarkan dan meyakini dakwahnya. Bahkan semua orang mencemoohkan dan memusuhinya. Sehingga hal ini menimbulkan rasa sedih ynag mendalam di hati Rasulullah, karena itulah kemudian tahun ini dinamkan tahun duka cita.
Perhatikanlah, apa sebenarnya hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Abu Thalib, sebelum terbentuknya kekuatan dan masih sedikitnya pertahanan kaum Muslimin di Mekkah ? Padahal seperti telah diketahui, Abu Thalib banyak memberikan pembelaan kepada Rasulullah. Demikian pula, apa hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Khadijah ? Padahal Rasulullah saw masih sangat memerlukan orang yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya, atau meringankan beban-beban penderitaannya ?
Di sini nampak suatu fenomena penting yang berkaitan dengan prinsip aqidah Islam. Seandainya Abu Thalib berusia panjang mendampingi dan membela Rasulullah sampai tegakknya negara Islam di Madinah, dan selama itu Rasulullah dapat terhindar dari gangguan kaum musyrik, niscaya akan timbul kesan bahwa Abu Thlaib adalah tokoh utama yang berada di balik layar dakwah ini. Dialah yang dengan kedudukannya dan pengaruhnya, seolah-olah memperjuangkan dan melindungi dakwah Islam, kendatipun tidak menampakkan keimanan dan keterikatannya kepada dakwah Islam. Atau tentu muncul analiya panjang lebar yang menjelaskan „nasib baik“ yang diperoleh Rasulullah pada saat melaksanakan dakwahnya lantaran pembelaan pamannya. Sementara nasib baik ini tidak diperoleh kaum Muslimin yang ada di sekitarnya. Seolah-olah, ketika semua orang disiksa dan dianiaya, hanya beliaulah yang terbebas dan terhindar.
Hal tersebut teramsuk Sunnahtullah dan hikmah Ilahiyah yang sangat besar artinya bahwa Rasulullah harus mengalami dan menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah. Sebab dengan demikian para dai pada setiap zaman akan menganggap ringan segala bentuk cobaan berat yang ditemuinya di jalan dakwah.
Seandainya Rasulullah berhasil dalam dakwahnya tanpa penderitaan atau perjuangan berat, niscaya para sahabatnya dan kaum Muslimin sesudahnya ingin berdakwah dengan santai, sebagaimana yang dilalukan oleh beliau dan merasa berat menghadapi penderitaan dan ujian yang mereka temui di jalan dakwah. Tetapi, dengan melihat penderitaan yang dialami Rasulullah akan terasa ringanlah segala beban penderitaan yang harus dihadapi oleh kaum muslimin di jalan dakwah. Karena dengan demikian mereka sedang merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Rasulullah dan berjalan di jalan yang pernah dilewati oleh beliau.
Betapapun penghinaan dan penyiksaan yang dilancarkan manusia kepada mereka, tak akan pernah melemahkan semangat perjuangannya. Bukankah Rasulullah sendiri, sebagai kekasih Allah pernah dianiaya dan dilempari kotoran pada kepalanya sehingga terpaksa harus pulang ke rumah dengan kepala kotor ? Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan dan penyiksaan yang pernah ditemui Rasulullah ketika berhijrah di Thaif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Powered By Blogger